![]() |
oleh Musfi Yendra* [Ketua Komisi Informasi Sumatera Barat] |
Fokussumatera.com - Tulisan ini terinspirasi dari apa yang disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Barat, Bapak Arry Yuswandi, dalam sambutannya saat me-launching Monitoring dan Evaluasi (Monev) Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2025, sebagai agenda rutin Komisi Informasi Sumatera Barat, Selasa, 8 Juli 2025. Ia mengatakan soal implementasi keterbukaan informasi publik dan transparansi lembaga pemerintah harus banyak belajar dari masjid.
Masjid, dalam artian pengurusnya menawarkan praktik sederhana namun substansial tentang keterbukaan informasi di tengah berbagai tantangan dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas lembaga negara. Di banyak tempat, laporan keuangan masjid dipajang terbuka: dari jumlah infak dan sedekah yang masuk, hingga rincian pengeluaran—biaya listrik, honor marbot, atau anggaran renovasi bangunan. Semua diumumkan kepada jamaah secara berkala, baik lewat papan pengumuman maupun pengeras suara setiap Jumat.
Model ini patut dicermati lebih jauh. Sebab apa yang dilakukan pengurus masjid merupakan bentuk keterbukaan informasi yang selaras dengan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Bahkan, bisa dikatakan praktik ini mendahului dan melampaui norma hukum negara, karena didasari oleh nilai spiritual, amanah, dan tanggung jawab sosial.
Sayangnya, lembaga-lembaga pemerintahan justru kerap mengalami krisis kepercayaan publik akibat lambannya keterbukaan informasi. Banyak badan publik masih bersikap tertutup dalam menyampaikan laporan keuangan, realisasi anggaran, atau proses pengambilan keputusan. Di sinilah masjid, dalam kesederhanaannya, menyampaikan pelajaran penting: transparansi tidak menunggu regulasi, ia tumbuh dari kesadaran moral.
Sejak awal Islam, keterbukaan telah menjadi bagian dari tata kelola kehidupan umat. Rasulullah SAW memberi keteladanan dalam menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam pengelolaan zakat, harta rampasan perang (ghanimah), maupun urusan strategis umat, Nabi senantiasa bersikap transparan.
Diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi merasa berhak mengetahui bagaimana dana umat digunakan. Bahkan, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang sahabat pernah mempertanyakan jubah yang dikenakan Umar karena terlihat lebih besar dari ukuran yang semestinya. Umar menjelaskan secara terbuka bahwa ia mendapatkan tambahan kain dari anaknya, dan ia mempersilakan untuk membuktikannya langsung. Sikap ini mencerminkan prinsip pertanggungjawaban yang tidak hanya administratif, tetapi juga moral dan publik.
Transparansi dalam Islam bukanlah retorika. Ia memiliki basis teologis yang kuat. Dalam Surah An-Nisa ayat 58, Allah memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak dan keputusan publik dilaksanakan secara adil. Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan urusan publik harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
UU KIP hadir untuk menegaskan hak warga negara atas informasi. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa keterbukaan informasi merupakan sarana optimalisasi pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara. Setiap badan publik wajib membuka informasi, termasuk rencana dan realisasi anggaran, laporan kegiatan, hingga standar operasional pelayanan publik.
Namun dalam praktik, implementasi UU KIP masih dihadapkan pada kendala kultural dan struktural. Banyak lembaga pemerintah belum membangun sistem informasi yang terbuka dan mudah diakses masyarakat. Bahkan, tidak sedikit yang masih memandang informasi sebagai milik eksklusif, bukan sebagai hak publik.
Kondisi ini kontras dengan apa yang diterapkan di banyak masjid. Tidak ada undang-undang yang memaksa pengurus masjid untuk membuka laporan infak dan sedekah. Namun mereka melakukannya secara rutin, karena menyadari bahwa dana yang dikelola adalah amanah umat. Ini menunjukkan bahwa keterbukaan sejatinya bersumber dari nilai dan integritas, bukan semata dorongan eksternal.
Masjid sebagai Cermin
Masjid, dalam hal ini, dapat menjadi cermin bagi lembaga-lembaga publik. Papan informasi sederhana di masjid yang memuat pemasukan dan pengeluaran lebih transparan daripada banyak situs resmi lembaga negara. Bahkan, di masjid, masyarakat bebas bertanya, memberikan masukan, atau mengusulkan kegiatan keagamaan. Semua berlangsung dalam ruang dialog yang terbuka.
Lalu mengapa praktik ini tidak bisa direplikasi di instansi pemerintah? Jawabannya mungkin bukan pada teknis, melainkan pada budaya dan kemauan. Ketika lembaga publik masih melihat keterbukaan sebagai beban, bukan bagian dari pelayanan, maka keterbukaan akan sulit tumbuh. Sebaliknya, jika keterbukaan dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab kepada rakyat, maka ia akan hadir secara alami.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah semestinya belajar dari masjid. Laporan anggaran desa/nagari, misalnya, bisa diumumkan melalui baliho atau papan informasi di kantor. Rencana pembangunan daerah bisa disosialisasikan secara terbuka dan partisipatif. Prinsipnya sama: apa yang berasal dari masyarakat, harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Kepercayaan publik tidak dibangun dengan janji atau jargon, tetapi melalui praktik yang konsisten. Keterbukaan informasi adalah fondasi dari kepercayaan itu. Masjid telah membuktikan bahwa dengan transparansi, jamaah merasa dilibatkan dan dihargai. Tidak ada ruang untuk kecurigaan, karena semua disampaikan dengan jujur.
Jika negara serius membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan dipercaya rakyat, maka inspirasi dari masjid perlu dipertimbangkan. Keterbukaan bukan sekadar pelengkap demokrasi, tetapi inti dari pelayanan publik yang baik.
Transparansi dari masjid bukanlah utopia. Ia nyata, hidup, dan telah berlangsung lama. Tugas kita adalah menjadikannya inspirasi untuk reformasi yang lebih luas. Karena dari rumah ibadah, kita belajar bahwa kejujuran bukan hanya nilai spiritual, tetapi kebutuhan sosial yang paling mendasar. [*]
No comments:
Post a Comment