![]() |
Foto Penulis: Warman |
Oleh: Warman
Kebijakan Fiskal yang diambil oleh Menteri Keuangan Purbaya Dalam Menanggulangi krisis ekonomi didalam Negeri Sah-sah saja, selagi bertujuan untuk memulihkan kondisi perekonomian.
Dalam keterangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa Di DPR RI, didepan Seluruh media massa, di hadapan rakyat Indonesia. Dia mengatakan penyaluran uang yang mengedap di BI kepada 5 Bank BUMN yang berjumlah Rp 200 Triliun.
Kata dia, ini merupakan kebijakan Fiskal mengingatkan adanya risiko ekonomi besar di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto jika kontribusi sektor swasta tertekan akibat likuiditas seret.
Menurut Purbaya, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mesin ekonomi pincang karena ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh pemerintah dengan fiskalnya. Sementara itu, kontribusi swasta tertekan. Padahal, seharusnya kontribusi swasta bisa mencapai 90%.
Dia mengungkapkan kondisi ini berbeda dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, ekonomi Indonesia bisa mencapai rata-rata 6% sejalan dengan peredaran uang tunai atau dikenal basis moneter yang tumbuh sehat.
Pada zaman SBY, Purbaya menerangkan pertumbuhan basis moneter/ base money/ uang primer (M0) rata-rata tumbuh 17% lebih. Alhasil, ini mendorong likuiditas di perbankan berlimpah dan pertumbuhan kredit ikut tumbuh pesat.
Caranya, kata Purbaya, dia akan menarik uang Rp 200 triliun, tabungan pemerintah yakni SAL dan SiLPA, dari Bank Indonesia (BI) yang jumlahnya Rp 425 Triliun.
Dan yang Rp 200 Triliun disalurkan ke 5 Bank BUM seperti, Mandiri, BRI, BTN, BNI dan BSI. Mandiri Rp55 triliun, BRI Rp55 triliun, BTN Rp 25 triliun, BNI Rp55 triliun, BSI Rp10 triliun.
Menurut Purbaya, tambahan likuiditas dari dana pemerintah akan membuat bank memiliki lebih banyak ruang untuk menyalurkan pinjaman.
Kebijakan Purbaya Jangan Menjadi BLBI Jilid II:
Namun perlu diingat kebijakan Fiskal rentan penyalahgunaan, jika tidak diawasi secara ketat oleh lembaga pengawas keuangan dan penegak hukum.
Untuk itu sangat perlulah kiranya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) melakukan monitoring atas kebijakan Fiskal yang dilakukan Menteri keuangan tersebut.
Mengingat uang rakyat yang digelontorkan ke-5 Bank tersebut, jumlahnya bukan sedikit. Alih-alih ingin memulihkan kondisi ekonomi, malah jadi ladang skandal korupsi.
Sebagai penulis, sekaligus sebagai rakyat Indonesia kita harapkan presiden Prabowo haruslah memperhatikan hal tersebut. Jangan sampai progam pemberantasan korupsi, malah terbalik menjadi pembantaian uang negara.
Sebagai contoh: Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah bantuan finansial yang diberikan oleh Bank Indonesia (BI) kepada bank-bank di Indonesia saat terjadi krisis moneter pada 1997-1998.
Skandal BLBI merupakan kejahatan ekonomi besar sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun sudah berlalu sekitar 17 tahun sejak 1998, penyelesaian kasus ini tidak menemui titik terang.
Pada masa pemerintahan Joko Widodo usaha untuk menagih utang penerima BLBI hadir melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021.
Namun hingga semester I-2024, Satgas BLBI telah membukukan perolehan aset eks BLBI sebesar 44,7 juta meter persegi dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp38,2 triliun atau baru 34,59 persen hak tagih negara berhasil dikembalikan oleh Satgas BLBI dari kewajiban sebesar Rp110,45 triliun.
Dikutip dari berbagai sumber ini alasan mengapa BLBI menjadi salah satu sumber masalah pengelolaan ekonomi Indonesia.
Mengapa BLBI diberikan?
BLBI diberikan saat krisis moneter yang menyebabkan banyak bank kesulitan dalam memenuhi kewajiban finansial mereka. Bank yang bermasalah ini bisa memicu kepanikan yang besar di masayrakat sehingga bisa menekan laju rupiah terhadap dolar AS.
Pada krisis 1998 rupiah sempat menyentuh level Rp16.800 per USD dari posisi Rp2000 per USD. Laju rupiah bisa terus melemah jika pemerintah tak melindungi bank-bank bermasalah.
Maka dari itu injeksi BLBI diharapkan bisa mencegah terjadinya bank run dan keruntuhan sistem perbankan secara keseluruhan.
Penyalahgunaan bantuan
Sejumlah besar dana BLBI diduga disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Masalah utama BLBI adalah adanya penyimpangan penyaluran bantuan yang sangat tidak wajar.
Dari total bantuan sebesar Rp 144,536 triliun, yang disalahgunakan oleh para bankir dan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sebesar Rp 138,442 triliun atau sebesar 95,5 persen.
Sebanyak 48 bank penerima BLBI, dengan rincian: 10 Bank Beku Operasi, 5 Bank Take Over, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan 15 Bank Dalam Likuidasi.
Hasil kejahatan BLBI telah beranak pinak menjadi konglomerasi kuat di Indonesia. Hal ini dapat tercermin dari audit BPK ini juga merinci 11 bentuk penyimpangan senilai Rp84,842 triliun, yaitu: BLBI digunakan untuk membayar atau melunasi modal pinjaman atau pinjaman subordinasi.
Pelunasan kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; Membayar kewajiban pihak terkait; Transaksi surat berharga; Pembayaran dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan.
Kemudian kerugian karena kontrak derivatif; Pembiayaan placement baru PUAB; Pembiayaan ekspansi kredit; Pembiayaan investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekruitmen, peluncuran produk dan pergantian sistem; Pembiayaan over head bank umum serta pembiayaan rantai usaha lainya.
Dampak BLBI:
BLBI memberikan dampak jangka panjang pada perekonomian Indonesia, termasuk peningkatan utang negara dan masalah sosial lainnya.
Fitra mencatat kasus Korupsi BLBI masih menjadi beban Negara, merugikan keuangan Negara hingga Rp5.000 triliun dan merampas kesejahteraan selama tujuh turunan hingga 2043 (menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka).
Kejahatan BLBI masih menjadi penyebab defisit keuangan negara setiap tahun yang selalu membesar dan menyebabkan ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Hingga saat ini, total obligasi rekap yang dibayarkan negara belum transparan dan akuntabel disampaikan ke publik, sehingga berpotensi juga diselewengkan.
Surat Keterangan Lunas (SKL) belum sepenuhnya menjadi jaminan pengembalian uang ke Negara, penerbitan SKL menurut KPK menjadi bentuk baru korupsi dalam skandal BLBI.
Asset dan keuntungan yang dikelola oleh pengemplang dana BLBI belum sepenuhnya diaudit dan dapat ditarik kembali oleh Negara, akibatnya obligator ini justru menjadi konglomerasi yang parahnya memimpin ekonomi Indonesia.
BLBI adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah ekonomi Indonesia yang memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana negara dengan efisien dan bertanggung jawab. (***)
No comments:
Post a Comment