Breaking News

Monday, September 29, 2025

Skema Penyaluran Perlu Diubah. Sekolah Langsung Kelola MBG

Teks Foto: Ilustrasi Makan Bergizi Pelajar, Yang Diolah Di Dapur Sekolah 



Oleh : Warman


Kasus keracunan pada siswa/i setelah mengkonsumsi MBG yang marak akhir-akhir ini, menjadikan statusnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Sehingga menjadi sorotan oleh berbagi kalangan, baik itu akademisi, Ahli Gizi serta KPAI.


Mantan direktur penyakit menular World Health Organization (WHO) Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, akhirnya angkat bicara. Ia menilai ada sejumlah masalah yang berpotensi membuat makanan dalam program MBG menjadi pemicu keracunan.


Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan temuan penting dari hasil pemeriksaan laboratorium. Dari sampel makanan MBG yang diuji di Laboratorium Kesehatan Daerah Jawa Barat, ada dua penyebab utama keracunan makanan.


Pertama, terdeteksi bakteri dengan dominasi Salmonella pada beberapa sampel. Menurut Tjandra, Salmonela biasanya berkaitan dengan makanan berprotein tinggi, seperti daging, unggas, dan telur.


Selain itu, mayoritas bakteri lain yang ditemukan adalah Bacillus Cereus. Mengacu pada data Not Safe For Work (NSW) Food Authority Australia, bakteri ini bisa memicu keracunan bila makanan, terutama nasi, disimpan dengan cara yang tidak tepat.


Kepala Staf Presiden (KSP) M.Qodari mengungkapkan Laporan dari Kemenkes. Pada 22 September, dari total  8.583 dapur MBG, hanya 34 yang memiliki SLHS (Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi).


Singkatnya, SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG. 


Berdasarkan data dari Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan, masing-masing institusi melaporkan bahwa ada lebih dari 5.000 siswa tercatat mengalami keracunan. 


(Data) dari Kemenkes, 60 kasus dengan 5.207 penderita/16 September. Kemudian BPOM, 55 kasus dengan 5.320 penderita, data/10 September 2025.


Qodari pun membeberkan empat indikator terjadinya keracunan MBG, yakni higienitas makanan, suhu makanan dan ketidaksesuaian pengolahan pangan, kontaminasi silang dari petugas, dan ada indikasi sebagian disebabkan alergi pada penerima manfaat. 



Terpisah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani mengingatkan pemerintah untuk memastikan agar pelaksanaan program MBG tidak merugikan anak-anak usai munculnya kasus keracunan massal di sejumlah daerah. 



Puan mengakui bahwa pelaksanaan MBG secara masif tidak mudah untuk dilakukan sehingga evaluasi program harus rutin dilakukan oleh pemerintah. 

Ketika kasus keracunan massal terjadi berulang di sejumlah daerah, Puan pun mendesak agar program tersebut dievaluasi secara total.



Ubah Skema Penyaluran MBG:

Kasus keracunan masal beruntun yang memakan banyak korban jiwa merupakan sebuah konsekwensi yang harus ditanggung pemerintah akibat tidak Pengelola MBG tidak mengikuti SOP yang telah ditetapkan.


Oleh karenanya Pemerintah harus berkaca dari pengalaman pahit tersebut. Jangan sampai kasus keracunan siswa akibat MBG memakan korban jiwa. Yang akan menjadi penyesalan seumur hidup.


Berangkat dari itulah penulis mencoba menemukan ide, agar MBG tetap jalan namun tidak memakan korban lagi. Ada baiknya kita bersama memikirkan supaya program Presiden Prabowo ini dapat diteruskan, namun dengan pola atau Skema penyaluran yang berbeda.


Ada baiknya kita memakai skema seperti ini: MBG (Makan Bergizi Gratis) dikelola oleh sekolah dibawah pengawasan BGN (Badan Gizi Nasional). Merupakan salah satu metode penyaluran dari sekolah langsung ke siswa:

Berikut adalah beberapa skema yang digunakan:

Dapur Sekolah: Sekolah-sekolah yang memiliki jumlah siswa minimal 1.000 orang dapat membangun dapur sendiri untuk memasak makanan.


Dengan demikian, skema MBG yang dikelola sekolah dapat membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh siswa-siswi.¹


Model MBG (Makan Bergizi Gratis) yang dikelola sekolah dapat berupa sebagai berikut:


A. Model I: Dapur Sekolah

1. Sekolah memiliki dapur: Sekolah memiliki dapur yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan.

2. Sekolah membeli bahan makanan: Sekolah membeli bahan makanan yang segar dan bergizi.

3. Sekolah memasak makanan: Sekolah memasak makanan yang lezat dan bergizi untuk siswa.



B. Model II : Kerja Sama dengan Orang Tua

1. Sekolah bekerja sama dengan orang tua: Sekolah bekerja sama dengan orang tua untuk menyediakan makanan.

2. Orang tua memasok makanan: Orang tua memasok makanan yang lezat dan bergizi ke sekolah.

3. Sekolah mengawasi kualitas makanan: Sekolah mengawasi kualitas makanan yang disediakan oleh orang tua.


Pengelolaan Makan Bergizi Gratis (MBG) di negara maju seperti Brasil, Finlandia, India, dan Swedia menunjukkan bahwa program ini dapat berhasil jika dikelola dengan baik. Berikut beberapa contoh pengelolaan MBG di negara maju:


- Brasil: Brasil telah menyediakan makanan gratis di sekolah bagi anak-anak dari keluarga miskin dan berpenghasilan rendah sejak tahun 1940-an. Program ini diperluas untuk mencakup seluruh anak yang ada pada tahun 2009.¹

- Finlandia: Finlandia telah menyediakan makanan bergizi secara gratis bagi siswa sejak tahun 1948. Program ini bukan sekadar memberikan makanan, tapi juga membangun fondasi kesehatan dan pendidikan gizi yang terintegrasi.²

- India: India telah melaksanakan program makan siang gratis di sekolah sejak tahun 1995. Program ini memastikan setiap anak dapat mengakses makanan sehat dan bergizi.

- Swedia: Swedia telah melaksanakan program makan gratis di sekolah sejak tahun 1973. Program ini dilakukan dengan cara prasmanan, di mana anak-anak mengantri untuk mengambil menu makanan yang dihidangkan.


Dalam pengelolaan MBG, negara-negara maju ini memiliki beberapa kesamaan, seperti:

- Kerangka hukum yang kuat: Negara-negara maju memiliki kerangka hukum yang kuat untuk mendukung pengelolaan MBG.

- Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan: Negara-negara maju melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, sekolah, dan masyarakat, dalam pengelolaan MBG.

- Pengawasan dan evaluasi yang ketat: Negara-negara maju melakukan pengawasan dan evaluasi yang ketat untuk memastikan bahwa program MBG berjalan dengan baik dan efektif.


Merubah alur MBG (Makan Bergizi Gratis) dari BGN (Badan Gizi Nasional) ke sekolah dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut:

Langkah I: Perubahan Kebijakan
1. Perubahan kebijakan: Pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan untuk mengalihkan alur MBG dari BGN ke sekolah.

2. Pengaturan peraturan: Pemerintah perlu mengatur peraturan yang jelas dan terperinci tentang pengelolaan MBG di sekolah.

Langkah II: Pengembangan Kapasitas Sekolah

1. Pengembangan kapasitas sekolah: Sekolah perlu dikembangkan kapasitasnya untuk mengelola MBG, termasuk pengadaan bahan makanan, pengolahan makanan, dan pengawasan kualitas makanan.

2. Pelatihan petugas sekolah: Petugas sekolah perlu dilatih untuk mengelola MBG, termasuk pengadaan bahan makanan, pengolahan makanan, dan pengawasan kualitas makanan.

Langkah III: Pengawasan dan Evaluasi

1. Pengawasan: Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa MBG di sekolah berjalan dengan baik dan efektif.

2. Evaluasi: Pemerintah perlu melakukan evaluasi yang berkala untuk memastikan bahwa MBG di sekolah telah mencapai tujuan yang diinginkan.

Langkah IV: Pengalokasian Anggaran

1. Pengalokasian anggaran: Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang cukup untuk mendukung pengelolaan MBG di sekolah.

2. Penggunaan anggaran: Anggaran yang dialokasikan perlu digunakan dengan efektif dan efisien untuk mendukung pengelolaan MBG di sekolah.

Kelebihan Perubahan Alur MBG:

1. Peningkatan efisiensi: Perubahan alur MBG dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan MBG.

2. Peningkatan kualitas: Perubahan alur MBG dapat meningkatkan kualitas makanan yang disediakan.

3. Peningkatan partisipasi masyarakat: Perubahan alur MBG dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan MBG.

Kekurangan Perubahan Alur MBG:

1. Ketergantungan pada sekolah: Perubahan alur MBG dapat membuat sekolah menjadi tergantung pada pemerintah untuk pengelolaan MBG.

2. Keterbatasan sumber daya: Perubahan alur MBG dapat memerlukan sumber daya yang lebih besar untuk mendukung pengelolaan MBG di sekolah.

3. Keterbatasan kemampuan sekolah: Perubahan alur MBG dapat memerlukan kemampuan sekolah yang lebih besar untuk mengelola MBG. (***)

No comments:

Post a Comment

About Me


Bofet%2BHP
BOFET HARAPAN PERI JL. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
SELAMAT DATANG DI SEMOGA BERMANFAAT!