Breaking News

Friday, October 17, 2025

Ketika “Mencintai Proses” Berubah Menjadi “Memaksa Diri”: Hilangnya Gairah Belajar dan Berorganisasi



Oleh : Afdal Salputra 
Mahasiswa Hukum Keluarga
Uda Duta Literasi Duta Kampus 2025
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang 

Fokussumatera.com
- Pernah nggak sih kamu merasa lelah tapi nggak tahu kenapa? Semua berjalan seperti biasa, kuliah, rapat, tugas, kepanitiaan tapi ada rasa hampa yang diam-diam tumbuh di dada. 

Kamu masih tersenyum, masih bilang “aku cinta proses,” tapi di dalam hati, semuanya mulai terasa berat. Seolah semangat yang dulu menyala kini padam perlahan, digantikan rutinitas yang kosong makna.

Dulu, kita semua punya mantra sakti: “mencintai proses.” Kalimat ini terdengar keren, penuh makna, dan siap memotivasi kita mengarungi samudra perkuliahan. Kita semangat ikut setiap kelas, mendaftar di berbagai organisasi, dan merasa siap menaklukkan dunia. 

Namun, coba jujur, kapan terakhir kali mantra itu benar-benar terasa di hati, bukan sekadar menjadi hiasan di bio Instagram? Tanpa sadar, “mencintai proses” telah berubah menjadi “memaksa diri.” Gairah yang dulu membara kini tinggal abu, disisakan oleh kelelahan dan kejenuhan yang makin akrab dengan kehidupan mahasiswa di Indonesia.

Mungkin kita pikir perasaan ini hanya dialami sendiri. “Ah, cuma aku aja yang lelah,” begitu kita menenangkan diri. Padahal, data berbicara lain. Menurut survei yang dilakukan di Universitas Indonesia tahun 2021, sekitar 75% mahasiswa mengaku mengalami masalah kesehatan mental. 

Angka ini bukan main-main. Sebagian besar dari mereka menyebut stres akademik dan tekanan sosial sebagai pemicunya. Tekanan sosial yang dimaksud bukan hanya dari nilai atau dosen, tetapi juga dari lingkungan sekitar yang seolah menuntut kita untuk selalu sibuk dan berprestasi. Kita merasa harus ikut banyak kegiatan kampus agar CV terlihat “kinclong” dan dianggap produktif.

Akhirnya, tanpa sadar kita terjebak dalam perlombaan yang tidak memiliki garis finis. Melihat teman satu angkatan aktif di tiga kepanitiaan membuat kita merasa tertinggal, seolah kita harus melakukan lebih dari itu. Kita mulai menumpuk sertifikat, jabatan, dan tanggung jawab, tanpa sempat bertanya kepada diri sendiri: apakah semua ini benar-benar membuat bahagia? 

Ketika ditanya apa manfaat dari rapat sampai tengah malam, sering kali jawaban yang muncul hanyalah senyum hambar dan kepala kosong. Sarkasme pun muncul sebagai pelarian, “Aku dapat pengalaman luar biasa, seperti belajar cara meeting tanpa hasil dan pulang-pulang cuma dapat sakit kepala.”

Belajar pun kini mengalami nasib serupa. Fokusnya bukan lagi pada ilmu, melainkan pada nilai. Kita rela begadang semalam suntuk demi ujian, hanya untuk melupakan semua materi keesokan harinya. “Yang penting lulus, Bu. Ilmu nanti bisa dicari di Google,” begitu candaan getir yang sering kita dengar. 

Inilah yang membuat esensi pendidikan terasa hampa. Mereka yang dulu bersemangat berdiskusi di kelas kini hanya hadir secara fisik, sementara pikirannya entah di mana. Mereka yang dulu aktif di organisasi kini hanya menjadi penonton pasif. Semua itu adalah dampak dari tuntutan yang terasa “wajib,” padahal sebenarnya tidak harus.

Namun, selalu ada jalan pulang. Saatnya kita berhenti memaksakan diri dan mulai berani menata ulang prioritas hidup. Kita bukan robot yang bisa diinstal berbagai program sekaligus. Tidak ada yang salah dengan ingin berkembang, tapi salah jika kita kehilangan diri sendiri dalam prosesnya. 

Cobalah untuk lebih jujur terhadap diri sendiri. Tidak semua kegiatan harus diikuti. Tidak semua peluang harus diambil. Kadang, memilih untuk beristirahat justru merupakan bentuk kemajuan. Fokuslah pada hal yang benar-benar sesuai dengan minat dan tujuanmu, bukan sekadar demi mempercantik CV.

Selain itu, jangan ragu untuk mencari bantuan ketika merasa kewalahan. Banyak kampus di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung, sudah menyediakan layanan konseling gratis bagi mahasiswa. 

Menggunakan fasilitas tersebut bukan berarti lemah, melainkan bukti bahwa kita cukup berani untuk mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Setiap orang berhak merasa lelah dan berhak untuk mencari pertolongan.

Terakhir, coba tinjau ulang tujuan awalmu. Ingat kembali alasan kenapa dulu memilih jurusan itu atau bergabung dengan organisasi tertentu. Mungkin awalnya bukan karena ingin terlihat keren atau ingin punya banyak sertifikat, tetapi karena memang ada rasa ingin belajar, berkembang, dan berkontribusi di sana. 

Mencintai proses seharusnya bukan tentang menumpuk kesibukan, melainkan tentang menikmati setiap langkah kecil, menghargai kemajuan sekecil apa pun, dan belajar dari kegagalan tanpa merasa dunia runtuh.

Dan jika hari ini kamu merasa letih, itu bukan tanda kamu gagal tapi tanda bahwa kamu manusia. Kamu berhak berhenti sejenak, mengambil napas, dan mengingat bahwa tidak semua hal harus cepat selesai. 

Hidup bukan perlombaan siapa yang paling sibuk atau paling cepat mencapai sesuatu. Hidup adalah perjalanan yang seharusnya dinikmati, bukan dijalani dengan terpaksa. Jadi, biarkan dirimu tenang. Mungkin hari ini bukan tentang berlari, tapi tentang kembali menemukan makna di langkah yang pelan.(*)

No comments:

Post a Comment

About Me


Bofet%2BHP
BOFET HARAPAN PERI JL. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
SELAMAT DATANG DI SEMOGA BERMANFAAT!