Breaking News

December 13, 2023

Empat Krisis Jokowi Dan Satu Bonusnya.

Eep Saefullah Fatah

Oleh:Eep Saefullah Fatah


Saya sedang menyaksikan sebagai warga negara, Jokowi berkubang dalam krisis saat ini. Dan forum ini diadakan menurut saya, jujur saja, bagi saya sendiri, untuk merayakan kubangan krisis itu. 

Ada empat krisis yang mau saya sebutkan. Yang keempat belum terjadi. Tetapi yang tiga pertama sudah terjadi. 


Krisis yang pertama adalah krisis moral.

Ketika Jokowi melanggar TAP MPR nomor 11 tahun 1998 dan melanggar Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas dari KKN dengan terang-benderang mempertontonkan nepotisme, pada saat itulah krisis moral itu sudah terjadi. Bukan akan terjadi. Pada titik itu kita menyaksikan krisis moral yang dihadapi oleh Jokowi.

Dan krisis moral itu sampai dengan sekarang, setelah ada MK-MK dan seterusnya, pencapresan, pencawapresan yang sudah kita lewati, makin menegas bahwa memang nyata krisis moral itu terjadi. Ini krisis yang pertama. 

Saya mau simpan eksplorasi agak banyak di krisis-krisis yang belakang sehingga yang di depan ini saya singkat-singkat saja. Karena krisis-krisis yang belakangan, itu disertai dengan pertanyaan lanjutan apa yang harus kita kerjakan. 


Krisis yang kedua adalah krisis politik atau krisis dukungan politik. 

Sebelum ada penetapan capres dan cawapres, sebelum ada penetapan koalisi dalam Pilpres 2024, dukungan politik untuk Presiden Jokowi itu datang dari 81% kursi DPR RI. Saya ulang, 81% dari kursi DPR RI. 

Ini adalah dukungan terbesar sepanjang sejarah Presiden hasil pemilihan langsung. Dua kali periode Pak SBY di bawah 80%, periode pertama Pak Jokowi di bawah 80%, dan periode keduanya 81%.

Tetapi sejak penetapan capres dan cawapres, yang terjadi adalah krisis dukungan politik. Dikarenakan 54,6% sudah di luar Presiden Jokowi. Tiga partai bersama dengan AMIN, dua partai bersama dengan Ganjar Mahfud MD. Jumlah mereka adalah 54,6% yang menyisakan koalisi pendukung Jokowi sekarang 45,4% saja. Dari 81% menjadi 45,4%, itu krisis namanya. Krisis kedua ini juga sudah terjadi.

Jokowi senyatanya menghadapi krisis dukungan politik. Pertanyaannya barangkali dengan lebih dari 50% kursi DPR dikuasai oleh mereka yang di seberang Jokowi, kok tidak ada radikalisasi di DPR? Kok agenda pemakzulan itu hanya berhenti di panggung diskusi dan tidak menjadi agenda politik? Nah itu belakangan nanti kita jawab. 

Karena itu kaitannya dengan satu krisis bonusnya tadi yang saya katakan. Itulah krisis kedua Jokowi.

Krisis ketiga Jokowi juga sudah terjadi. Saya sebut sebagai krisis kebijakan. Lengkapnya gagalnya kebijakan.


Krisis Gagalnya Kebijakan

Selama ini kita dicecoki oleh data survei yang tidak tuntas, berupa tingkat kepuasan pemilih terhadap Presiden Jokowi. Ada yang menyebut angka diatas 75%, bahkan ada 1-2 lembaga survei mengatakan diatas 80%. Saya tidak tahu apakah lembaga-lembaga survei itu menanyakan pertanyaan lain, selain kepuasan.

Di salah satu podcast saya sudah cerita, bahwa ketika kami Polmak Indonesia menyelenggarakan 32 survei di 32 provinsi dengan 1 provinsinya 1.200 responden, kami menanyakan 5 pertanyaan lain, menyangkut penilaian pemilih terhadap keadaan mereka. 
Lima itu adalah 
Apakah mereka menghadapi harga kebutuhan pokok yang terlampau tinggi, sehingga mereka tidak bisa menjangkaunya. 
Apakah korupsi begitu merajalela, hingga mereka merasa dipersulit hidupnya oleh praktek korupsi.
Apakah pembangunan infrastruktur yang katanya sukses, itu sudah membuat kehidupan mereka lebih baik. Dan seterusnya ada 5 termasuk 
Apakah pekerjaan mudah untuk dicari atau didapatkan. 

Lima kasus itu jawabannya buruk, artinya publik dan pemilih menilai bahwa keadaan memang tidak baik-baik saja.

Sehingga dengan demikian, seperti yang saya sampaikan di beberapa tempat, rupanya orang Indonesia ketika ditanya puas tidak sama pemimpin, itu seperti kita melayat jenazah dan kita ditanya apakah jenazah itu orang baik atau bukan. Maka kita dituntut oleh hati kita untuk hanya menyebut kebaikan yang bersangkutan. 

Tetapi ketika ditanya apakah hidupmu di dalam suasana pelayatan ini baik-baik saja atau tidak, itu pertanyaan yang berbeda.

Kami baru saja menyelenggarakan 32 survei di 32 provinsi baru saja selesai. Baru minggu yang lalu selesai diolah, besok Senin saya bertemu dengan mitra kerja atau klien, mudah-mudahan bersedia memenuhi permintaan saya untuk dipublikasi. Dan pada saat publikasi, saya akan sebutkan siapa klien itu.

Di Indonesia survei-survei tidak bertuan, karena kalau orang mempublikasi survei dan ditanya siapa yang membiayai jawabnya, hamba Allah. Tidak ada yang mau mengaku. Survei 32 provinsi ini, saya gunakan untuk mengecek ulang hal yang sama, bahkan saya perbesar.

Ada pertanyaan soal keputusan MK dan nepotisme, ada pertanyaan soal IKN dan pertanyaan tentang kehidupan, saya perbanyak menjadi 8 isu bukan hanya 5 dan ada 13 pertanyaan soal krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Yang di banyak tempat itu hilang dari diskusi, padahal itu salah satu agenda yang amat sangat serius di tempat kita.

Yang saya mau bilang, adalah tidak ada perubahan. Ternyata pemilih menganggap keadaan tidak baik-baik saja. 

Mereka menganggap hidup mereka susah. Maka saya bisa simpulkan tanpa harus berdebat dengan Pak Luhut. Karena ini 32 survei, 1 surveinya 1.200 responden, jumlah respondennya adalah 1.200 x 32. Tinggal dikalikan.

Kalau Pak Luhut ikut jadi responden, Pak Luhut boleh bicara. Tapi kalau tidak terambil random ya Pak Luhut sama saja seperti kita. 

Ini suara rakyat, bukan suara penguasa.

Dan nyatanya krisis kebijakan itu sudah terjadi. Apa krisis keempat? 

Inilah yang harus diperjuangkan dan saya sebagai warga negara ingin memperjuangkannya. 
Dan mengajak teman-teman di sini untuk ikut memperjuangkannya. Namanya krisis elektoral. Jokowi harus kalah dalam pemilu 2024.


Jokowi harus kalah dalam pemilu 2024

Itulah target saya sebagai warga negara Indonesia. Jika tidak, maka pemimpin-pemimpin berikutnya akan menjadikan ini sebagai contoh. Tidak perlu 32 tahun untuk semena-mena di Indonesia. Cukup 9 tahun 1 bulan. Cukup 9 tahun saja. Cukup 8 tahun saja.

Bahkan ada yang mengatakan cukup 5 tahun saja. Tergantung kapan pendukung Jokowi itu mulai bertobat. Itu hitungannya.

Ada yang sampai 9 tahun 10 bulan. Itu artinya tobatnya bulan November. Terus 9 tahun 1 bulan.

Saya adalah konsultan Jokowi di pemilu 2014. Saya tidak menjadi konsultan Jokowi atau Prabowo di 2019. Dan saya memutuskan tidak jadi konsultan siapapun di 2024. Supaya saya bisa ngomong begini. 

Di 2014, saya jadi konsultan Jokowi. Pertobatan saya kurang dari 100 hari; yaitu ketika Mas Bambang Widjojanto ditangkap. Lalu kemudian kita sama-sama waktu itu demo. Saya dan teman-teman ke KPK.

Dan saya mengirimkan surat cinta yang sangat panjang SMS ke 3 orang. Presiden Jokowi, Wakil Presiden Yusuf Kalla, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. 

Disitulah saya mengatakan.

Dan saya menggunakan anda. Yang rupanya kalau dibaca orang Solo itu terlalu menyakitkan. Saya tunggu anda, tidak hanya sekedar jadi pemenang pemilu atau penghuni istana. Saya tunggu anda saat ini menjadi Kepala Negara. 

Menjadi Kepala Negara itu tidak cukup menjadi non-partisan saja. Tapi harus beyond partisan. Anda harus ada di atas semua orang, di atas semua golongan. Dan selamatkan negara dan bangsa ini.

Saya tunggu sampai dengan siang dan sore. Anda harus berbuat sesuatu dalam krisis di KPK ini. Jika tidak, anda sekedar penghuni istana dan pemenang pemilu presiden.

Itulah isi SMS saya kira-kira. Sampai sekarang masih saya simpan. Dan ketika tidak ada apa-apa sampai sore, menurut saya, tidak bisa saya mendukung lagi orang ini. Sudah cukup. Jadi buat saya usianya 100 hari kurang. Buat beberapa orang 9 tahun, 8 tahun, 5 tahun, dan seterusnya. 

Yang ingin saya katakan adalah, krisis elektoral harus terjadi. Bukan untuk mengalahkan Jokowi, titik, dan tidak ada sesuatu yang pribadi dalam urusan ini.

Ini urusan bagaimana Indonesia demokrasi dan masa depannya tidak boleh ada dalam titik balik. 
Ini urusan dimana Indonesia harus menyelamatkan sesuatu yang sangat besar, lebih besar dari satu keluarga, apalagi satu orang.
Ini urusan yang tidak ada kaitannya secara pribadi dengan Jokowi. Jadi kalau ada, pasti ada intel polisi, intel tentara di tempat ini. Mohon dicatat bahwa mereka yang berkumpul di sini, kami yang berkumpul di sini, tidak punya urusan pribadi dengan Jokowi.

Urusan kami dengan Jokowi secara pribadi berakhir ketika dia jadi presiden. Karena pada saat itu, urusan pribadi dia sudah tidak relevan. Kalau dia keliru, maka kita harus bilang keliru.

Kalau menurut kita dia harus jatuh, maka kita harus bilang dia harus jatuh. Kalau kita bilang dia harus berhenti, tidak boleh sampai 20 Oktober tahun depan, maka kita harus bilang itu. Dan itu tidak ada urusan pribadi.

Jadi krisis yang keempat ini adalah krisis elektoral. Apakah ada peluang? 

Saya baru besok ketemu mitra kerja, kalau saja diskusi ini terlambat 2 hari atau 3 hari, mungkin saya bisa bocorkan angkanya.

Tetapi baiklah, Bismillah, saya sedikit-sedikit melanggar etika barangkali dengan mengatakan ini, karena presentasi ke klien belum, kok udah ngomong berkoar-koar di Bandung. Tidak apa-apa. Ternyata menurut hitungan itu, masih mungkin Prabowo-Gibran dikalahkan.

Data survei ini tidak bisa dibandingkan dengan satu survei nasional yang sekarang datanya beredar. Ini survei  32 provinsi, yang satu provinsinya 1.200 responden, 6 provinsi yang tidak disurvei, cuma Papua. Apa hasilnya?

Prabowo-Gibran di bawah 40%, tidak di atas 40%. Anis dan Ganjar di atas 20%. 

Teman-teman bisa hitung, tinggal belasan persen saja yang undecided. Yang menarik adalah di survei kami selalu ada pertanyaan, apakah pilihan ibu, bapak, saudara tersebut sudah tetap atau masih mungkin untuk berubah? Berapakah yang mengatakan sudah tetap? 46% saja. Tetapi ketika dicek, sisanya kemungkinan besar tidak memilih. Maka ditemukanlah angka, sekitar 43% pemilih kita masih diperebutkan. Itu data pertama.

Data kedua. Tingkat kepuasan terhadap Jokowi yang tinggi, tidak sama dengan dua data. Yaitu data pilihan terhadap Prabowo dan Gibran. Dan data berikutnya adalah data tentang apakah Jokowi orang yang paling mereka dengar, ketika mereka membuat pilihan politik. Kami buat pertanyaan itu. Di antara tokoh-tokoh berikut ini, termasuk ada jawaban: lain-lain sebutkan.

Sehingga setiap orang bisa menyebutkan tokohnya sendiri. Kita masukkan daftar nama, tentu saja ada Presiden Jokowi di situ. Hanya 20% lebih sedikit yang mengatakan Presiden Jokowi, yang mereka paling timbang ketika mau memilih.

Jadi kalau ada lembaga survei yang mengatakan tingkat kepuasan Jokowi 80%, maka 80% pemilih akan dengar dia. Itu survei yang tidak selesai. Yang karena tidak selesai, maka dengan mudah dipakai untuk menggiring secara keliru, opini kita.

Jadi menurut saya terbuka kesempatan. Orang Indonesia terbukti tangguh dalam dua hal. Menghadapi krisis yang terhebat dan menang dalam keadaan miskin.

Emang Jokowi waktu menang dia kaya, di Jakarta 2012? Emang Jokowi banyak duitnya waktu 2014 waktu menang? Enggak, bisa menang dia.

Di banyak sekali tempat, 14 tahun saya jadi konsultan, banyak banget orang yang kurang duit menang. Menurut saya, kewajiban warga negara yang terpenting saat ini adalah hilangkan pesimisme dari kamus anda. Karena setiap orang bukan penonton, setiap orang adalah pelaku. Dan haram hukumnya bagi pelaku untuk pesimis. Saya sudah 16 menit, minta waktu tambahan sedikit ya. 

Orang marah itu tidak boleh dihentikan.

Saya ulang, terbukti bahwa di Indonesia kita punya rakyat yang tangguh. 

Yang setiap kali menyelamatkan Indonesia dari krisis-krisis yang terbesar. Bukan kekuatan ekonomi besar, tapi sektor informal dan kekuatan ekonomi mikro dan kecil.
Yang setiap kali bersikap dan kemudian membawa Indonesia berubah adalah orang-orang kecil. 

Sekarang ini kita dipaksa di cecoki untuk mendengarkan orang besar bicara di televisi, orang besar bicara di mana-mana, dengan perspektif mereka yang jauh dari pikiran orang kecil. 

Maka menurut saya tidak ada alasan untuk pesimis di 2024. Prabowo-Gibran bisa dikalahkan. 

Saya tidak punya agenda memenangkan Anis Muhammad. Saya tidak punya agenda untuk memenangkan Ganjar Machfud. Saya punya cuma satu agenda, mengalahkan Joko Widodo. Itulah agendanya. Dan ketika yang didukung adalah Prabowo-Gibran, salah sendiri Prabowo-Gibran didukung Jokowi.

Karena itu kena getahnya. 

Ceritanya cuman begitu. 

Nah maka saudara-saudara sekalian mari hilangkan kamus pesimisme atau kata pesimis dari kamus kita.

Apa itu bonus, krisis bonus? 

Krisis bonus itu adalah krisis konstitusional. Kalau krisis elektoral terjadi, Joko Widodo dikalahkan 14 Februari 2024, putaran keduanya 26 Juni 2024.

Kemungkinan besar dua putaran ini, tidak satu putaran. Lalu kemudian, kalahlah Joko Widodo, maka besar kemungkinan terjadi krisis bonus yang keempat, krisis konstitusional. 


Krisis Konstitusional

Pada saat itulah pelaku-pelaku politik akan bergerak dan bisa memakzulkan Jokowi sebelum 20 Oktober 2024.

Pak Intel ini analisis. Ini bukan ajakan ini. Walaupun saya mengajak partai-partai, belum tentu didengar.

Mangga-mangga. 

Pertanyaannya, kenapa tidak terjadi proses pemakzulan sekarang? 

Dua alasannya.

Alasan yang pertama adalah, jika partai-partai dan kekuatan legislatif memulai proses pemakzulan, maka akan terganggulah tahapan-tahapan pemilu. Orang yang paling diuntungkan adalah orang yang ingin pemilu ditunda, karena ingin masa jabatannya bertambah. Kebetulan orangnya sama dengan yang mau saya lawan, namanya Joko Widodo.

Maka rupanya itu juga yang mau dilawan oleh partai-partai, dan karena itu mereka belum mau bergerak terlalu jauh untuk pemakzulan, karena bisa mengganggu tahapan pemilu, dan karena itu kemudian membantu target-target tersembunyi itu kembali muncul. 

Pemilu ditunda, masa jabatan bertambah. 

Yang kedua, di dalam tingkat krisis seperti sekarang, memancing isu yang mendasar, menggerakannya menjadi gerakan masa, itu bisa memancing anak kismet. Kalau kemudian itu terpancing di tengah suasana kampanye, maka undang-undang darurat bisa diperlakukan oleh Kepala Negara. Dan di sini banyak yang lebih paham apa isi undang-undang itu. 

Maka semua kendali akan dipegang oleh Kepala Negara.

Saya ngomong seperti ini, kemungkinan besar tidak akan pulang naik kereta cepat nanti malam, tetapi mungkin ke polsek, polres, atau tempat-tempat terdekat semacam itu. Jadi dengan demikian wajar kalau tidak ada proses pemakzulan secara politik yang berlangsung sekarang, karena dua alasan itu. 

Tetapi kalau krisis elektoral terjadi 14 Februari dan 26 Juni, Presiden Joko Widodo kalah, bukan tidak mungkin pergerakan politik, radikalisasi lembaga legislatif akan mulai berlangsung, dan tidak sampai 20 Oktober 2024, yang bersangkutan.

Untuk apa? Untuk memberi pelajaran besar kepada bangsa Indonesia dan semua rakyat, bahwa rakyat Indonesia tidak akan tinggal diam, menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang. 

Saya kira itu sebagai penutup. Apa yang harus kita kerjakan.

Menurut saya, jangka pendeknya adalah ikut serta dalam mengelola dan membentuk krisis elektoral 2024. 

Bentuknya beragam, salah satunya adalah mari di Jawa Barat ini, di Bandung ini, dibentuk Liga Pemilih Pemantau Polisi dan Liga Pemilih Pemantau Tentara. 

Liga pemilih ini lebih terorganisir dalam bentuk network atau jaringan, jadi kita tidak bisa mendorong orang untuk melakukan segala sesuatu sendirian. Ada fardhu kifayah yang harus ditegakkan, yaitu fardhu kifayah yang ada pada segelintir orang untuk menggerakkan orang lain, dan lebih baik bentuknya adalah Liga Pemilih saja, tidak usah bentuk organisasi. 

Liga Pemilih Pemantau Polisi, Liga Pemilih Pemantau Tentara, dan satu lagi, Liga Pemilih Anti Kejahatan Pemilih. Tiga hal itulah yang harus kita bentuk, masih ada waktu.

Berapa lama waktunya? Waktunya adalah, saya lihat aplikasi, karena saya punya aplikasi beberapa hari lagi, Pilpres dan seterusnya, masih ada waktu 67 hari. 67 hari pemungutan suara, 67 hari waktu yang cukup.

Sebab, terbukti bahwa, apalagi orang berkumpul sebanyak ini, Bung Karno mengatakan, *_“Kasih saya 10 pemuda, maka akan saya guncang dunia”_*. 

Dan Jokowi lebih dasyat, *_”Saya kasih kalian pemuda, maka akan saya rusak demokrasi Indonesia”_*. 

Itulah yang tidak boleh dibiarkan, dan dalam satu hari saja keputusan MK itu diputuskan di saat yang terakhir, masa 67 hari tidak cukup untuk melawannya.

Saya yakin cukup, dan mudah-mudahan Tuhan bersama kita, karena Tuhan yang sama adalah Tuhannya Presiden Jokowi. 

Wallahu'l-muwafiq ila aqwami thoriq. 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

No comments:

Post a Comment

About Me


Bofet%2BHP
BOFET HARAPAN PERI JL. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
SELAMAT DATANG DI SEMOGA BERMANFAAT!